Cari disini

Jumat, 06 Maret 2015

Nekara Dong Son ditemukan di Tanimbar

Tim peneliti dari Balai Arkeologi Ambon menemukan spesimen nekara (gendang perunggu) Dong Son tipe Heger I di Desa Arui Das, Pulau Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

"Ini menjadi nekara ke-13 yang pernah ditemukan di Maluku," kata Arkeolog Marlon Ririmase di Ambon, Rabu (26/3).

Ia mengatakan nekara Dong Son tipe Heger I itu ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Ambon pada 11 Maret 2014, dalam upaya pencarian selama 12 hari di Kepulauan Tanimbar.
 Menurut dia, benda peninggalan budaya zaman perunggu tersebut tidak tercatat dalam berbagai referensi akademis etnohistori mengenai penemuan nekara di Maluku yang pernah ditulis sebelumnya oleh para peneliti Belanda pada era kolonial.

Salah satu referensi terkenal tentang ditemukannya spesimen nekara di Maluku adalah catatan dari Georg Eberhard Rumphius, seorang peneliti Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) keturunan Jerman.

"Berdasarkan sumber etnohistori Belanda, selama ini ada 12 spesimen nekara tipe Heger I yang pernah ditemukan di berbagai kawasan di Maluku, tapi kemudian dibawa keluar dari Maluku. Dua spesimen nekara yang pernah ditulis oleh Rumphius dikirim ke Italia dan Jerman," katanya.

Lebih lanjut Marlon mengatakan, nekara adalah produk pada saat budaya logam mulai tumbuh di bagian selatan Benua Asia, dan menjadi bagian dari kisah akhir zaman pra sejarah menuju awal masa sejarah. Dari segi sebarannya, benda tersebut diketahui sudah ada sejak 2.500 tahun lalu.

"Semua budaya dari tradisi perunggu termasuk di kepulauan Asia Tenggara berasal dari wilayah Dong Son yang terletak di sebelah utara Vietnam. spesimen nekara sendiri sudah ada sejak tahun 500 dan 200 sebelum Masehi (SM)," katanya.
 
 
(Sumber: malukuprov.go.id)

Enrique Maluku, Pengeliling Dunia Pertama

Sebuah Catatan : M. Arlis Lisaholet
Di sekolah kita belajar sejarah bahwa manusia pertama yang mengelilingi bumi adalah Ferdinand Magellan. Namun sejarah itu bisa saja keliru, sebab tidak banyak yang tahu, selama 450 tahun pencapaian putra bangsa Indonesia bernama Enrique Maluku sebagai manusia pertama yang mengililingi bumi, sengaja ditutup-tutupi. 
Sejarah sesungguhnya Enrique adalah orang pertama yang mengelilingi dunia, ini tercatat dalam tulisan Maximillianus Transylvanus, yang kemudian dibukukan oleh Avonturor kaya asal Italia dan tersimpan di perpustakaan Universitas Yale, Amerika Serikat hingga saat ini.
Ironisnya, Ketika terungkap Malasia dan Filiphina mengkalim Enrique sebagai orang mereka dengan menggantikan namanya melalui cerita fiktif. Namun demikian kita orang Indonesia, jangan berkecil hati. Sejarah akan selalu berpihak pada kebenaran. Belum lama ini dua penulis yang sudah terkenal di masyarakat Helmy Yahya dan Reinhard R Tawas, telah menulis sebuah buku berjudul “Enrique Maluku asal Indonesia-Pengeliling Bumi Pertama (bukan Magellan).
Buku berisikan informasi ilmiah tentang seorang putra Maluku yang berhasil mengelilingi dunia pertama kali sebelum abat ke-15 m itu, disebut-sebut berdasarkan wakil tahta suci vatikan yang mewawancarai 17 orang yang selamat. Tentunya fakta yang tertuang dalam buku tersebut secara harafiah mengangkat derajat kita orang Maluku di mata dunia. 
Terang saja, sebelum buku dengan ketebalan 236 halaman dipasarkan secara luas di masyarakat, penerbit buku PT Ufuk Publishing House, dengan rendah hati meminta restu dari Gubernur Maluku Ir Said Assaggaf, sebagai sesepu dan orang nomor satu di bumi raja-raja ini. Tak hanya itu, Assaggaf diminta untuk memberi kata pengantar yang akan diabadikan pada buku bernafas sejarah itu.
“Ya, saya diminta untuk memberikan kata penghantar pada buku Enrique Maluku. Buku ini sangat menarik dan penting bagi sejarah kita orang Maluku,” tutur Assaggaf kepada wartawan di kediamannya, kemarin (31/7). Assaggaf menambahkan orang Maluku memiliki sejarah yang mendunia, hanya saja tidak sedikit yang hilang bak ditelan bumi. 
Olehnya itu, tambah Assaggaf, sejarah tokoh Maluku yang tertuang dalam buku Enrique Maluku pengeliling dunia pertama, akan disiarkan disetiap sekolah yang ada di daerah ini,” Kita sudah pesan buku itu dalam jumlah besar. Nanti setiap sekolah akan dibagikan agar siswa dapat membaca dan mengetahui sejarah Enrique,” paparnya.
Buku itu sendiri menceritakan kisah putra nusantara, saat Alfonso D Albuquerquq dan kaptennya yaitu Ferdinand Magellan, menaklukkan Malaka. Magellang mengambilnya, menamakan Enrique dan membawanya kembali ke Portugal. Dengan menguasai berbagai bahasa, naviasi dan seni berperang, Enrique membantu Magellan, meyakinkan raja spayol, Charles I, untuk membiayai armada Maluku.
 Enrique Maluku melakukan pelayaran luar biasa, sekaligus mementahkan rekor Magellan. Dimana Magellan terbunuh di Mactan, Filipina pada tanggal 27 April 1521, sebelum melengkapi “circumnavigation of the globe”. Karena perjalanannya terdahulu yang paling jauh kearah timur Nusantara hanya sampai di Brunei. Dengan begitu Magellan belum lengkap mengitari lingkaran bumi sebulat 360%. Brunei terletak di garis bujur timur (longitude) 114˚40', sementara Mactan berada di 123˚58'. Masih ada selisih 9˚18’. 9˚18’. 
Jika diukur persis di garis ekuator masih kurang 1035,28 km (40.075,2 km / 360 x 9,3). Sebastian de Elcano yang melanjutkan misi Magellan melengkapi “circumnavigation of the globe”nya pada 6 September 1522 bersama 17 orang awak kapal yang tersisa. Di antara 17 orang tersebut ada Antonio Pigafetta, seorang avonturir kaya asal Italia yang menulis buku tentang perjalanan paling bersejarah ini. 
Selain itu, sumber informasi tentang pelayaran manusia yang paling menakjubkan ini adalah laporan yang ditulis oleh Maximillianus Transylvanus yang mewawancarai sisa-sisa anak buah Magellan yang selamat kembali ke Spanyol. Laporannya dicetak tahun 1523 dengan judul “De Moluccis insulis”. Transylvanus adalah pembantu Kaisar Tahta Suci Roma Charles V (1519 – 56) yang dirangkap oleh Raja Spanyol Charles I (1516 – 56).
Di catatan keliling dunianya Pigafetta menulis bahwa Magellan dibantu oleh seorang asisten asal Sumatra yang dipanggil Enrique de Malacca atau Enrique El Negro atau Henry Hitam. Ada yang menyebutnya Enrique de Molucca, mungkin Transylvanus, karena dialah yang menyatakan bahwa Henry Hitam berasal dari Maluku. 
Pigafetta menulis Magellan berhasil meyakinkan Raja Carlos I Spanyol untuk membiayai perjalanannya karena datang ke hadapan raja dengan membawa serta Henry Hitam yang cerdas dan membuat raja terpesona. Dapat kita bayangkan seorang budak membuat seorang raja dan kaisar kagum. 
Ferdinand Magellan berangkat dari Sanlucar de Barrameda 20 September bersama 270 pelaut dari berbagai kebangsaan. Mereka terbagi ke dalam lima kapal yaitu kapal utama Trinidad yang membawa Magellan, Pigafetta dan Henry Hitam, San Antonio, ConcepciĆ³n, Victoria, dan Santiago.
Selama lebih dari 400 tahun tidak ada orang yang berpikir tentang kemungkinan bahwa Henry Hitam inilah yang pertama kali mengelilingi bumi. Tahun 1958 seorang novelis Malaya Harun Aminurrashid mengklaim bahwa Henry Hitamlah pengeliling dunia yang pertama dan dia adalah orang Malaysia. Ia menulis novel pelayaran 'Panglima Awang' gelar yang diberikannya untuk Henry Hitam.
Yang lebih meresahkan adalah klaim Carlos Quirino, pakar sejarah dan penulis Filipina pada tahun 1980 bahwa Henry Hitam ini orang Filipina, hanya dengan argumentasi bahwa dia bisa langsung berkomunikasi dengan penduduk asli ketika sampai di Cebu. Padahal catatan Pigafetta jelas-jelas mengatakan bahwa Henry Hitam hanya bisa berkomunikasi dengan bahasanya yakni Melayu dengan Raja Humabon, penguasa Cebu.
 Sebagai seorang raja beliau pasti mendapat akses untuk belajar bahasa Melayu baik secara langsung atau melalui guru. Ketika itu bahasa Melayu adalah bahasa internasional yang dipakai secara luas dari Madagascar di Afrika sampai Pulau Easter di Samudra Pasifik. Tentang kenyataan bahwa si Hitam berasal dari Sumatra, ia berasumsi bahwa bahwa Henry Hitam diculik oleh perompak dan dijual sebagai budak ke Sumatra dan dijual lagi ke Malaka. 
Tahun 2002 penulis Filipina Carla Pacis menulis novel tentang Henry Hitam dengan judul Enrique el Negro, berdasarkan argumentasi Quirino. Malah ketika itu direncanakan akan dibuat filemnya sekalian. Sekarang, setelah Batik, apalagi yang dapat menambah kebanggan kita sebagai bangsa Indonesia? Henry Hitam adalah orang Indonesia! Kenapa dia dijuluki si Hitam?
Di Sumatra jarang ada orang berkulit hitam. Magellan pasti sudah menpersiapkan perjalanan keliling dunianya ke arah Barat, ke Maluku dan balik kembali ke Spanyol dengan matang. Ia perlu sorang yang paham betul tentang Nusantara dan terutama Maluku. Apalagi jika bukan orang Maluku. Ada dua versi bagaimana Magellan mendapatkan si Hitam. 
Versi pertama: Tahun 1511 ketika Portugis yang dipimpin Alphonse D’Albuquerque menaklukkan Malaka, dan Magellan adalah salah satu komandannya, mereka mendapatkan 3000 budak dari berbagai suku di Nusantara yang ditinggalkan oleh raja Malaka Sultan Mahmud. Kenapa dia memilih Henry Hitam yang ketika itu berusia sekitar 18. Bukan hanya karena dia cerdas, bisa berbagai bahasa, tapi juga karena berasal dari Maluku. 
Tempat yang dulu diidam-idamkan oleh orang Eropa yang menyebutnya “Spice Islands”. Versi kedua: Magellan mendapatkan Henry Hitam dari Francisco Serrao di Sumatra sebelum penyerangan ke Malaka. Serrao adalah “Resident Officer” Portugis di Maluku yang tugasnya mengumpulkan rempah-rempah untuk dibawa ke Goa di India. Kenapa pula Henry Hitam disebut orang Sumatra?
Satu argumentasi lagi yang mendukung teori ini adalah Pigafettta selama perjalanannya menulis sebuah kamus bahasa-bahasa yang dijumpainya selama perjalanan. Dari 460 kata yang ada di kamusnya hanya 160 kata yang bukan bahasa Melayu. Tidak heran. Pastilah dia dibantu Henry Hitam yang sekapal dengannya selama 18 bulan. Di antara kata-kata yang dikumpulkannya banyak yang berasal dari Maluku seperti diakui Pigafetta.
Henry Hitam tidak mengikuti rombongan de Elcano kembali ke Spanyol. Menurut catatan versi Spanyol ia tewas di Cebu, sesuatu yang rasanya tidak karena ia bersahabat dengan Raja Humabon. Yang paling mungkin adalah dia ditinggalkan di Cebu. Penulis Malaysia tadi berasumsi bahwa ia kembali ke Malaka dan melengkapi “circumnavigation of the globe” atau pulang ke Sumatra. 
Mungkin juga ia kembali ke Maluku karena lebih dekat. Apapun itu, apalagi jika ia berasal dari Maluku, ia sudah melengkapi perjalanan keliling dunianya karena Mactan berada di garis bujur timur 123°58', sedangkan Ambon berada di 128°12'.
Dulu orang-orang dari negara-negara Scandinavia membuat ribut bahwa orang Eropa pertama yang menemukan benua Amerika adalah orang mereka Leif Eriksson yang sudah mengunjungi Nova Scotia di Kanada beberapa tahun setelah tahun 1000. Bukan Columbus. Sekarang kita orang Maluku juga bisa melakukan hal yang sama.(*)

Kamis, 05 Maret 2015

Marsda TNI Leo Wattimena, 'Sang Good' Pilot

 Leonardus Willem Johanes Wattimena
memiliki nama panggilan sehari-hari Bladsem,  kata “Bladsem” mengandung arti kilat/petir, sementara di kalangan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dikenal dengan nama yang singkat Leo Wattimena.
Putra daerah kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat 3 Juli 1927 itu lahir dan dibesarkan oleh keluarga Kristen Protestan yang taat.   Ayahnya bernama Hein Leonardus Wattimena berasal dari Ambon, Maluku sedangkan ibunya yang bernama Maria Lingkan Wattie berasal dari Kawengian, Manado Sulawesi Utara.  
Ayahnya yang bekerja sebagai Comisaris Residen Kantor di kota Pontianak tidak membuatnya jadi enak-enakan, melainkan untuk terpacu lebih kreatif dan berjuang dalam mengarunggi hidup.  Leo Wattimena merupakan anak keempat dari enam bersaudara masing-masing keluarganya tiga perempuan dan tiga laki-laki.
Sebelum meniti kariernya di AURI, diawali dengan menempuh  Hollands Inlandsche School (HIS) dan Algeme Middelbare School (AMS) pada tahun 1950 di Jakarta.    
Leo Wattimena memiliki berprinsip kuat, bahwa tidak mau tergantung pada orang lain, ulet, disiplin dan tahan banting untuk mencapai cita-citanya.  Prinsip yang kuat tersebut terbukti setelah ayahnya meninggal, memulai untuk membiayai sekolahnya pemuda dengan bekerja sebagai pelaut di Maskapai Perkapalan NISO, bahkan kalau ada waktu luang tidak malu-malu untuk mendorong gerobak.    Semua itu dilakukan karena harus mencari biaya sendiri agar tetap bisa sekolah.   
Karier di AURI dimulai  bersama calon-calon kadet penerbang yang dikirim untuk mengikuti pendidikan Sekolah Penerbang Taloa selama satu tahun di California Amerika Serikat pada tahun 1950.    Pendidikan penerbang tersebut diikuti 60 kader yang dikirim pemerintah Indonesia untuk mengikuti pendidikan penerbang Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TOLOA). 
Selama mengikuti pendidikan penerbang di Taloa Leo Wattimena menjadi lulusan terbaik dari 45 kadet yang menjadi penerbang, dan selebihnya menjadi navigator.  Menyandang lulusan terbaik merupakan suatu kebanggaan tersendiri dan mengandung arti bagi dirinya untuk selalu berbuat yang terbaik setiap menjalankan tugas. Dari hasil yang sangat membanggakan itu membuat dirinya mendapat kesempatan Bersama 18 temen-temennya, untuk melanjutkan pendidikan instruktur selama tujuh bulan di TALOA.
Sesampainya kembali di tanah air selanjutnya ditempatkan di Skadron 3 Lanud Halim Perdanakusuma sebagai penerbang pesawat tempur merangkap instruktur Pesawat P-51 Mustang.   Para penerbang-penerbang yang dikirim ke Taloa berkelakar kita bertugas dengan sungguh-sungguh, semoga dikemudian dapat berkarir dengan baik, itu terlihat dan berkarier menonjol itu terbukti salah satunya adalah Leo Wattimena.  
Penerbang Asing pun "Angkat Topi" dengan Leo Wattimena, bahkan selama menjadi penerbang telah menyandang segudang gelar yang melekat pada dirinya. Mulai dari "orang gila", pemberani, good pilot, penerbang yang cerdik, jenius, orang yang sangat memahami pesawat terbang, sampai julukan "G maniac" yang diberikan oleh penerbang-penerbang pesawat tempur India, karena sangat kagum kepada Leo Wattimena.
Setelah kembali ke tanah air Indonesia  tahun 1951, kemudian diangkat menjadi Letnan Muda Udara I  dan ditempatkan di Komando Operasi di Halim Perdanakusuma, selanjutnya ditempatkan di Skadron 3 hingga pada tahun 1952 naik pangkat menjadi Letnan Udara II.  
Setelah naik pangkat menjadi Letnan Udara I di tahun 1954, kemudian mendapatkan kesempatan kembali pergi ke Inggris untuk mengikuti Pendidikan Penerbang Pesawat Pancargas pada RAF Centre Flying School di Little Resington selama satu tahun.

Leo Wattimena mendampingi Presiden Sukarno dalam kunjungan ke Irian Barat
Tahun 1955 bertugas kembali ke India dalam rangka peninjauan kesatuan-kesatuan pesawat Jet Vampire dari Indian Air Force selama dua bulan.   Setelah pulang dari India dengan pangkat Acting Kapten Udara, kemudian ditempatkan sebagai Perwira Instruktur Penerbang di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.   Meniti karier berikutnya pada bulan Mei 1956 sebagai perwira penerbang Skadron 3 diperbantukan pada Komando Group Komposisi.  
Pada bulan Juni 1956 kembali mendapatkan kesempatan yang ketiga kalinya dikirim ke luar negeri dalam rangka menghadiri perayaan hari Angkatan Udara Republik Uni Sovyet (Rusia).
Leo Wattimena pada tanggal 18 April 1956, menetapkan untuk mengakhiri masa lajangnya dengan mempersunting seorang gadis Corrie Dingemans.   Dari pernihakannya dikaruniai empat anak, Clifford Joseph Wattimena, Gunther Leonardus Wattimena,  Patricia Maria Wattimena, dan Grace Riani Wattimena.
Dalam rangka mem­perkuat armada tempur yang dimiliki AURI pada tahun 1957, pemerintah Republik Indonesia mem­­utuskan untuk membeli delapan buah Jet Vampire buatan Inggris.  Kemudian AURI menugaskan Kapten Udara Leo Wattimena dan Kapten Udara Rusmin Nurjadin ditugaskan ke Inggris untuk belajar menjadi penerbang Pesawat Jet Vampire. Selama mengikuti pendidikan instruktur lanjutan di Royal Air Force, kembali menunjukkan kualitasnya sebagai penerbang andal terbukti lulus dengan predikat satu.  Pada masa itu mempersiapkan penerbang baru dengan generasi pesawat yang di pesan Indonesia, sebanyak delapan pesawat jet tempur de Havilland DH-115 Vampire dan itu merupakan pesawat jet pertama yang dimiliki AURI.  
Penempatan penerbang untuk pesawat jet tempur de Havilland DH-115 Vampire adalah penerbang Leo Wattimena dan Rusmin Nurjadin.  Selesai mengikuti latihan untuk mengawaki Pesawat Jet Vampire, keduanya kembali ke tanah air untuk mempersiapkan calon-calon penerbang Pesawat Jet Vampire, salah satunya Kapten Udara Sri Mulyono Herlambang.  
"Tak heran jika dengan Pesawat DH-115 Vampire sampai Mig-17 dan jet tempur bakatnya Leo Wattimena bisa mendapatkan multi ranting. Mulai dari L-4J Piper Club, P-51 Mustang, supersonik MiG-21 Fishbed" 
Bakat luar biasa yang ditunjukan saat menerbangkan DH-115 Vampire untuk pertama kalinya itu, menghantarkan Leo Wattimena untuk dipercaya memimpin armada Vampire Skadron 11 Lanud Kemayoran (1 Juni 1957).  Tercatat bahwa waktu itu Indonesia sudah memiliki 16 jet tempur buatan Inggris ini.  Predikat yang disandangnya  "sangat paham terhadap pesawat terbang" memang bukan omong kosong.
Keahlian tentang pesawat ditunjukkan ketika Sumarsono, penerbang MiG-21 Fishbed Skadron Udara 12 jatuh di Kemayoran. Keesokan harinya, bersama Rusmin segera turun tangan untuk menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat tersebut yang mengakibatkan penerbang Sumarsono gugur.   
Waktu itu, di saat untuk menerbangkan pesawat buatan Uni Soviet itu, baru sekali take off and landing, kemudian turun kembali Leo Wattimena langsung berkomentar : "Ini pesawat jelek". Meskipun begitu, tetap menerbangkan pesawat supersonik delta tersebut.  Sementara di masa kejayaannya, bahwa pesawat supersonik delta merupakan pesawat unggulan produksi Uni Soviet.

Sebagai Wakil Panglima Komando Mandala sedang memberikan briefing dalam rangka penyebaran pamflet
Di luar negeri Beruang Merah (UNI Soviet), hanya Indonesia yang punya hingga dan sanggup membuat negara tetangga Australia harus memutar otak karena kekuatan pesawat  yang dimiliki Indonesia.  Ditambah lagi AURI diperkuat dengan Pesawat Tupolev Tu-16 Badger (bomber).  Disaat itu pula, pesawat  Pesawat Tupolev Tu-16 Badger (bomber) menjadi unggulan Uni Soviet, bahkan Amerika pun ingin memilikinya.  
Karir sebagai Komandan Kesatuan Pancargas AURI, Pangkalan Udara Husein Sastranegara mulai bulan Februari 1957, dan Komandan Skadron 11 April 1957.      Pada akhir tahun 1957 bersama rombongan mendapat tugas baru dengan missi pembelian pesawat, berangkat ke Negara Rusia dan negara-negara Eropa Timur selama dua bulan.   Sesampainya di tanah air setelah melaksanakan  kunjungan tersebut dengan pangkat Mayor Udara mendapatkan tugas kembali belajar di Mesir selama tiga bulan untuk belajar mengenai penerbangan dan teknik.     
Oktober 1960 bertugas mengambil pesawat-pesawat AURI yang sedang menjalani overhaul di Hongkong Aircraft Engineering Corporation.    April 1961 bertugas ke Inggris untuk mengikuti RAF Staf College di Andover.
Dengan dibentuknya Komando Regional Udara (Korud) tahun 1961 akhirnya mendapat tugas baru sebagai Panglima Komando Regional Udara IV, tahun 1962 sebagai Wakil II Panglima Komando Mandala pembe­basan Irian Barat dengan pangkat Kolonel Udara. Agustus 1962 sebagai Panglima Angkatan Udara Mandala dengan pangkat Komodor Udara.  
Pada saat operasi Trikora, pernah mendapat tugas untuk mengirim gula dari Jakarta ke Makassar.  Selama berkarir sebagai prajurit AURI, tergolong orang yang selalui mengutamakan hak-hak prajurit yang bertugas di medan perang.  Ada peristiwa yang menarik, “pernah pada suatu saat makanan jatahnya  dibuang, karena melihat para prajurit yang akan diterjunkan ke Irian Barat dengan resiko tinggi, bahkan bisa dikatakan belum tentu juga kembali dengan selamat cuma diberi makan pakai lauk tempe, sedangkan para jenderal yang hanya bertugas dibelakang meja makan dengan lauk daging ayam”.
Leo Wattimena adalah Jenderal pertama yang mendarat di Irian Barat, dengan menggunakan Pesawat C-130 Hercules setelah melaksanakan tugas penyebaran pamflet di daerah Merauke.  Pesawat yang diterbangkan oleh Captain Pilot Letkol Udara M. Slamet dan Co Pilot Mayor Udara Hamsana didalamnya ada Komodor Udara Leo Wattimena.   Setelah tugas selesai timbul keinginan Komodor Udara Leo Wattimena mendarat di Lapangan Terbang Merauke.  Secara sigap Kaptain Pilot kemudian mengontak tower Merauke menyatakan bahwa pesawat mengalami kerusakan mesin (Engine trouble) dan minta ijin mendarat, dengan cara demikian, maka untuk pertama kalinya seorang Jenderal AURI  menginjakkan kakinya di Irian Barat. 

Penerbang legendaris AURI dengan latar belakang pesawat Mustang
Namun demikian setelah melaporkan ke Tower Merauke, pesawat mendarat di ujung landasan, kemudian langsung terbang lagi.  Saat itu pula tidak serta merta tentara Belanda marah karena merasa ditipu, situasi itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa AURI adalah yang nomor satu.

Prestasi Penerbang sangat menonjol dan menakjubkan
Terbang di Bawah Kolong Jembatan Ampera, kemahiran menerbangkan pesawat ditunjukkan Leo Wattimena dalam suatu kesempatan dengan Pesawat MiG-17,  terbang rendah di kolong jembatan Ampera Sungai Musi, Palembang.   Saat terbang tidak sendirian, tetapi bersama dengan wingman-nya, Marsda (Pur) Sudjatio Adi. Dibawanya pesawat seperti menukik mau menghujam dasar sungai Musi, lalu pull up sebelum mencapai permukaan air dan terbang menyambar dibawah Jembatan Ampera.  
"Terbang gila" dengan penuh resiko dan sangat berbahaya yang dilakukan. Terbang menyalip diantara tower dan tiang bendera di Lanud Adisutjipto, Yogyakarta.    Terbang straight and level, pasti menabrak, jadi untuk dapat lolos, ujung sayap yang satu ditarik Leo ke bawah.  Alhasil, pesawat dengan indahnya menyalip terbang diantara dua penghalang tersebut.
Menurut Marsekal Pertama (Pur) Agustinus Andy Andoko, mereka sejaman dengan penerbang ulung itu, bahwa "Leo itu identik dengan Mustang".  Bahkan karena unik dan keahliannya berangkat kerja dari  Bandung ke Jakarta, Leo Wattimena menggunakan Pesawat Mustang.  
Sebagai  penerbang fighter, Leo Wattimena kenyang asam garam perang udara, pernah memimpin serangan di Indonesia Timur melawan Permesta (14 Mei 1958) menggunakan Mustang serta empat pembom B-25 Mitchell. Sebagai Wakil II Panglima Komando Mandala merangkap Panglima AU Mandala pada masa Trikora.  Dalam operasi tempur perebutan Irian Barat tahun 1962, Leo menjadi Jenderal pertama yang menginjakkan kakinya di bumi Irian Barat.
Menurut rekan-rekannya dikenal orang sangat tekun dan serius dalam mengemban tanggung jawab. "Kalau perlu dia tidak tidur sampai tiga hari," kenang Kolonel (Pur) Suparno, mantan Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara yang pernah melayani Leo.  Sebagai penerbang ada yang mengatakan, dia sangat menyatu dengan udara. Kalau dia terbang, semua untuk dia. Leo terbang tidak lagi dengan raganya, tapi dengan jiwanya.
Setelah selesai menjabat sebagai Pangkodau IV pada bulan April 1965 kemudian diangkat sebagai Panglima Komando Operasi, sedangkan jabatan se­men­tara Wakil II Panglima Mandala tetap dijabat sampai bulan Mei 1963.   Tahun 1966 diangkat sebagai Panglima Kohanud merangkap sebagai anggota MPRS mewakili  AURI.   Tanggal 17 Juni 1966 pangkatnya dinaikkan menjadi Laksamana Muda Udara.  
Pada saat berlangsungnya Operasi Dwikora pernah menjabat sebagai kepala Staf Komando Mandala Siaga.
Setelah memasuki akhir pengabdiannya sebagai prajurit AURI, Laksamana Muda Udara Leo Wattimena mendapat kehormatan untuk menjadi Duta Besar berkuasa penuh untuk Italia. Dengan pengangkatan menjadi Duta Besar di Itali ini diartikan lain, karena tugas ini sama saja rasanya dibuang dan sakit hati, karena saat itu merasakan bahwa harus berpisah dengan Pesawat P-51 Mustang.    Perpisahan itu terasa separo jiwanya telah diambil, karena ia bercita-cita menjadi penerbang bukan Duta Besar.

Bersama Presiden Suharto setelah acara pelantikan Sebagai Dutabesar Republik Indonesia untuk Italia<
Setelah masa tugasnya sebagai Duta besar di Italia berakhir, Laksamana Muda Udara Leo wattimena menderita sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.  Pada waktu diirawat di rumah sakit tidak merasa nyaman dan tidak kerasan untuk diam dan tiduran terus, akhirnya ia melarikan diri  dengan naik Bajai, setelah sampai di rumah diantar kembali ke Rumah Sakit oleh keluarganya.  
Di Rumah sakit Cipto itulah Laksamana Muda Udara Leo Wattimena menghembuskan nafasnya yang terakhir dan berpulang ke rumah Tuhan, dalam usia 47 tahun dengan meninggalkan seorang istri dan 4 orang anak.  
Laksamana Muda Udara Leo Wattimena sebelum meninggal berpesan pada istrinya, “Kalau saya meninggal rawatlah anak-anak dengan baik”. Sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, jenasah disemayamkan di Markas Besar Angkatan Udara untuk memberi kesempatan kepada seluruh anggota AURI  memberikan penghormatan terakhir.
Selama berdinas di AURI mendapatkan Bintang/tanda jasa berupa medali Sewindu, Gerakan Operasi Militer III, IV, V, VI, VII, Bintang Sakti dan Satyalencana Wira Dharma. ** Pd.

Mr. Latuharhary, Mengenang Tokoh Hukum dari Saparua




Orang Jakarta lebih mengenal kawasan sekitar Jalan Latuharhary sebagai lokasi mangkal kaum waria pada malam hari, dan tempat penjualan anak-anak anjing berkelas.

Memanjang dari ujung Jalan Kendal hingga ke ujung Jalan Sukabumi, di kawasan elit Menteng Jakarta Pusat, Jalan Latuharhary merupakan salah satu jalan yang banyak dilewati penikmat kehidupan malam. Maklum, kawasan Latuharhary dan sekitarnya yang dikenal sebagai Taman Lawang adalah tempat mejeng pria transeksual alias waria. Dari Jalan Blora menuju Latuharhary, penjaja seks komersial juga sering terlihat pada malam hari.

Sebelum dilakukan pembersihan untuk proyek Banjir Kanal Barat Sungai Ciliwung, kita juga bisa menemukan geliat kehidupan malam di pinggir rel kereta api jurusan Manggarai-Tanah Abang. Kalau siang hari, kita sering melihat penjual berbagai jenis anak anjing berkelas seperti dalmatians, rotweiller, dan siberian husky. Kehidupan malam di seputar Latuharhary bisa jadi tak terpisahkan dari sejarah prostitusi di kawasan Halimun. Halimun hanya berbatasan Kali Ciliwung dan Jalan Sultan Agung dengan Jalan Latuharhary. Pada dekade 1960-an, Halimun dikenal sebagai kawasan prostitusi terbesar di Jakarta.

Nama Latuharhary sebenarnya tidak hanya diabadikan untuk jalan. Dulu, pada masa Ali Sadikin menjadi Menko Maritim, kita memiliki kapal Johannes Latuharhary yang berhasil keliling dunia selama empat bulan. Kini, orang lebih mengenal nama Latuharhary sebagai nama jalan di Jakarta.

Jalan Latuharhary terletak tidak jauh dari rumah dinas Wakil Presiden. Di jalan ini berdiri kantor Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Sebelum pindah ke Latuharhary pada November 1996, kantor Komnas HAM terletak di Jalan Pemuda, Jakarta Timur.

Lalu, pernahkah Anda mencari tahu siapa Mr Latuharhary yang namanya diabadikan pada jalan tersebut? Seorang komisioner di salah satu Komisi tadi tanpa malu-malu mengaku tidak tahu jawabannya. Ia hanya bisa menebak. Dari gelarnya sih pasti orang hukum, jawab sang komisioner. Ia menunjuk papan nama jalan yang menyebut Latuharhary, SH.

Jawaban senada datang dari komisioner Komnas HAM, M. Ridha Saleh. Saya tidak terlalu begitu mendalam soal Latuharhary, ujarnya. Ridha Saleh hanya tahu bahwa Latuharhary adalah seorang tokoh bangsa pada masa perjuangan yang berperan dalam bidang hukum dan politik.

Lalu, siapakah sebenarnya Latuharhary? Apa kiprahnya di dunia hukum sehingga namanya diabadikan sebagai nama jalan? Pertanyaan itu memutar kembali memori Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) Prof. J.E. Sahetapy. Pada September 1995 silam, Prof. Sahetapy didaulat untuk memberikan memorial lecture untuk memperingati dua tokoh nasional asal Tanah Saparua, yakni dokter J. Leimena dan Mr. J. Latuharhary.

Dijelaskan Sahetapy, Latuharhary adalah satu dari sedikit tokoh asal Maluku yang bergelut di bidang hukum. Pada umumnya, tokoh asal Ambon mengambil bidang kedokteran atau sekolah pendeta. Hal berbeda ditunjukkan oleh Latuharhary. Sebagai orang berlatar belakang hukum, ia banyak terlibat dalam dalam penyusunan konsep dasar negara menjelang kemerdekaan. Bahkan seingat Sahetapy, Latuharhary termasuk tokoh penting yang mendatangi Hatta untuk menolak berlakunya piagam Jakarta. Latuharhary mengancam jika piagam Jakarta diberlakukan, Maluku dan wilayah Indonesia bagian Timur akan menarik diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lulusan Leiden
Nama lengkapnya Johannes Latuharhary. Lahir di Saparua 6 Juli 1900, Johannes Latuharhary adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Ia memperoleh gelar Mesteer in de Rechten pada usia 27 tahun. Pada masa itu memang cukup banyak mahasiswa asal Indonesia yang kuliah hukum di Belanda. Para alumnus Belanda ini punya peran penting menggalang semangat persatuan menjelang kemerdekaan.

Dokumen yang dikeluarkan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menunjukkan semula Latuharhary bersekolah di Jatinegara, Jakarta. Lalu, berlanjut ke ELS di Ambon. Pada tahun 1915 ia menjadi pengajar di Sekolah Rakyat di Saparua. Latuharhary kembali ke Batavia, meneruskan pendidikan di HBS Jakarta dan memperoleh diploma pada 1923.

Setahun setelah lulus dari Leiden, Latuharhary bekerja di dunia peradilan di Surabaya, pernah tercatat sebagai Ketua Pengadilan di Kraksaan. Lalu, membuka kantor advokat di Surabaya. Ketika Jepang masuk, Latuharhary menjadi pegawai Naimubu Jakarta dengan gaji yang cukup tinggi untuk ukuran kala itu: f400,20 per bulan. Wah, gajinya sangat tinggi kala itu, puji Sahetapy.

Diakui Sahetapy, tidak banyak butir-butir pemikiran Latuharhary bidang hukum yang diwariskan kepada kita. Pemikiran keilmuannya kurang kita ketahui. Yang terkenal pemikiran-pemikiran kebangsaannya, jelas Sahetapy.

Latuharhary menikah dengan Henriette Carolina Pattiradjawane. Dari perkawinannya dengan putri Raja Kariu, Jacob Pattiradjawane, itu Latuharhary dikaruniai tiga orang anak, yaitu Henriette Latuharhary (1932), Louise Latuharhary (1936), dan Leonara Latuharhary (1940).

Representasi Maluku dan Pemikiran
Nama Latuharhary mencuat pada masa awal kemerdekaan bersamaan dengan upaya tokoh-tokoh nasional membuat suatu perkumpulan yang representatif. Latuharhary dianggap mewakili Maluku, meskipun selama perjuangan ia banyak berkiprah dari Subaraya.

Pada 1928, Latuharhary menjabat sebagai Ketua Serikat Ambon. Di Surabaya, ia menjabat sebagai Sekretaris Permufakatan Perkumpulan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Periode 1932-1942 ia menjadi anggota Dewan Provinsi Jawa Timur. Sejak 1940, Latuharhary menjadi pengurus Partai Indonesia Raya (Parindra) di Malang.

Ketika dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dari 30 anggota, nama Mr Johannes Latuharhary menempati urutan ke 14, dan dianggap mewakili Maluku. Di Panitia ini Latuharhary duduk bersama antara lain Soekarno, M. Hatta, Otto Iskandardinata, Mr Soepomo, Ki Hadjar Dewantara, Kasman Singodimejo, dan Mr. Iwa Kusuma Soemantri.

Latuharhary adalah anggota BPUPKI yang menolak masuknya anasir religiositas ke dalam UUD 1945. Pada rapat BPUPKI pada 11 Juli 1945, Latuharhary menolak penggunaan kata Ketuhanan dimasukkan ke dalam Pembukaan UUD 1945. Saya tidak setuju dengan semuanya, yaitu dengan perkataan tentang ke-Tuhanan, kata Latuharhary sebagaimana diungkap dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretariat Negara (1995).

Anggota BPUPKI, Sartono mencoba menengahi dengan mengatakan bahwa soal detil kalimat akan dibicarakan kemudian. Soekarno mempertanyakan apakah Latuharhary sudah memikirkan kemungkinan penolakan dari anggota BPUPKI yang lain terhadap pandangan Latuharhary. Latuharhary menegaskan bahwa dalam menyusun hukum dasar tidak boleh ada benih-benih yang dapat diartikan bermacam-macam, dan menimbulkan perasaan tidak senang pada kelompok lain.

Ketika dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) periode Agustus-Oktober 1945, Latuharhary terpilih sebagai Wakil Ketua III. Ketua Komite ini adalah Mr Kasman Singodimedjo. Belakangan, posisi Latuharhary di Badan Pekerja KNIP mewakili Maluku digantikan oleh P de Quelju.

Sejarah mencatat bahwa selama duduk di BPUPKI dan PPKI, Latuharhary telah mengajukan sejumlah usul penting. Pada rapat PPKI pada 19 Agustus 1945, Latuharhary menolak istilah mangkubumen yang diusulkan Soekarno sebagai sebutan pemerintahan daerah. Selain istilah itu dianggap berbau Jawa, istilah yang lazim dipakai adalah gubernemen atau provinsi. Istilah yang dipakai kemudian adalah provinsi.

Pada sesi lain rapat PPKI, Latuharhary juga menyatakan penolakannya terhadap pembentukan Kementerian yang khusus mengurusi agama, yakni Departemen Agama. Persoalan ini dinilai Latuharhary sensitif dan bisa menciderai semangat kebangsaan yang tengah dibangun. Saya yakin bahwa jika mengadakan suatu Kementerian Agama, nanti bisa ada perasaan-perasaan yang tersinggung atau yang tidak senang, kata Latuharhary pada rapat PPKI Minggu siang di Gedung Tyuuoo Sangi-in (sekarang Departemen Luar Negeri).

Ketika Hatta mengusulkan pembentuka 15 Departemen, Latuharhary mendukung pemisahan Departemen Makanan Rakyat dan Departemen Perekonomian Umum. Bagi Latuharhary, urusan Makanan Rakyat tidak bisa dianggap sepele.

Diplomasi internasional
Setelah merdeka, Latuharhary banyak terlibat di pemerintahan, termasuk diplomasi internasional. Pada masa Kabinet Hatta 1948, Latuharhary menjadi salah seorang utusan Indonesia menghadiri Sidang Umum PBB di Lace Succes. Ketua rombongan dipimpin oleh Mr Mohammad Roem, beranggotakan Ali Sastroamidjojo, Tjoa Sek Ien, M. Nasroen, Soepomo dan Soenarjo Kolopaking.

Aktivitasnya di dunia diplomasi juga ditunjukkan ketika Indonesia � Belanda berunding difasilitasi Dewan Keamanan PBB atas tertundanya pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB). Latuharhary ikut sebagai anggota rombongan.

Dokumen sejarah lain mencatat bahwa Mr Latuharhary adalah Gubernur Maluku yang pertama. Pemerintah memberikan penghargaan Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan dan mengangkat Latuharhary sebagai pahlawanan nasional. Sahetapy dan M. Ridha Saleh menilai sudah selayaknya nama Latuharhary ditabalkan sebagai bana jalan mengingat kiprahnya dalam perjuangan kemerdekaan.

Sumber : http://www.hukumonline.com

Koleksi Foto Kota Ambon Tempo Doeloe (Bagian II)

Dear Basudara,,,, pada kesempatan ini akan saya share kembali koleksi foto-foto Kota Ambon tempo doeloe yang kedua kalinya. Masih banyak lagi koleksi fotonya jadi akan ada bagian lanjutannya. Semoga foto-foto ini bisa mengobati rindu atas tanah Maluku yang Manise dan membuat basudarara semua semakin cinta dan sayang akan tanah Maluku.


Alun-alun atau Lapangan Utama Kota Ambon tahun 1924, kini disebut Lapangan Merdeka


Banjir hancurkan Passo, 1915
Gempa Bumi di Ambon tahun 1898, pandangan jalan paradise
Batu Gantung 1919, suasana mama-mama bacuci dan mandi di kali
Jalan Raya Kawasan Benteng Tahun 1900
Jalan di Batugajah Ambon, 1928
Jalan Mardika tahun 1925
Jalan Pasar Ambon tahun 1900
Jalan Raya Passo, dengan Jembatan pake rumah + pohon sagu kiri kanan
Jalan Utama Negeri Naku tahun 1920
Ini salah satu jembatan di Ambon (Waitomu atau Wairuhu-Galala) tahun 1900
Jembatan Hatukau (Batumerah) Tahun 1930
Untuk sementara ini saja dulu ya,,,

Koleksi Foto Kota Ambon Tempo Doeloe (Bagian II)


Basudara samua, pada kesempatan ini akan dishare koleksi foto-foto tentang Ambon atau Maluku. Karena fotonya banyak jadi dishare bertahap dan ini yang bagian pertama. Semoga foto-foto jadul ini bisa mengobati rindu atas tanah Maluku yang Manise dan membuat basudarara semua semakin cinta dan sayang akan tanah Maluku. Indahnya Berbagi,,,,,

View Teluk Ambon dari Batumerah atas (Hatukau)

Teluk Ambon (Thn 1900)
Aktivitas Gemeente (Kantor Walikota Ambon) di Tahun 1935
Jalan Pacinan (A.Y.Patty)
Pelabuhan Ambon (1930)
Wai Batumerah (Hatukau) Thn 1925
Aer Batu Gantung (1925)
Air terjun kecil di Batu Gantung,,, Namanya Batu Sumbayang ato Batu Bulan
Air Besar, Thn 1915
Bacuci di Air Putri , 1928
Bagaya Par ambel Foto di teluk ambon thn 1900,,, (hhmmm memang kapala gaya dari jadul)
Jembatan Hatukau (Batumerah) Tempo Doeloe

Rabu, 04 Maret 2015

Koleksi Foto Kota Ambon Tempo Doeloe (Bagian I)

Basudara,,,ee  pada kesempatan ini akan dishare lagi koleksi foto-foto ambon tempo doeloe untuk yang ketiga kalinya. Masih banyak lagi koleksi fotonya yang akan share lagi pada kesempatan yang selanjutnya. Semoga Foto - foto ini bisa mengobati rasa rindu atas tanah ambon yang manise dan membuat kita semua semakin cinta akan tanah tanah ambon,,,,



Benteng Nieuw Victoria (1910)

Hotel Banda di Ambon tahu 1880 (wah,,, sudah ada hotel  di ambon ya di masa ini)

Hotel Soselisa di Ambon tahun 1910


Kantor Pos Ambon tahun 1925


Kweekschool STOVIL di Batu Gantung, 1925 


Mesjid Agung An-nur Negeri Hatukau (Batumerah) tahun 1575


Mesjid Jami Ambon tahun 1895


Depan Gereja Soya Atas (1937)


Gereja Rehoboth (1928)


Gereja Silo Ambon (1925)


Jemaat Kristen Protestan Kota Ambon usai beribadah minggu di Gereja Protestan pada tahun 1923.


kampung Batugajah tahun 1875.  Lokasi ini masih ada dan sekarang dijadikan Markas Korem Binaya 


Ikan Taator bagus ee,,, (1900)



Dr. Johannes Leimena


Dr.Johannes Leimena atau biasa disapa "Om Jo" merupakan tokoh politik yang paling sering menjabat menteri di kabinet Indonesia dan satu-satunya Menteri Indonesia yang menjabat sebagai Menteri selama 21 tahun berturut-turut tanpa terputus. 

J.Leimena dilahirkan di Ambon pada tanggal 6 Maret 1905 dan menjalani masa-masa kecilnya di kota Ambon.  Pada tahun 1914 Leimena kecil hijrah ke Jakarta yang waktu itu masih bernama Batavia. Di Batavia  ia meneruskan studinya di ELS (Europeesch Lagere School), namun hanya untuk beberapa bulan, kemudian ia pindah ke sekolah menengah Paul Krugerschool (kini PSKD Kwitang). Menyelesaikan sekolahnya di Paul Krugerschool, ia melanjutkan pendidikan ke MULO Kristen dan kemudian melanjutkan pendidikan kedokterannya di STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen), Surabaya - yang merupakan cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia kini.

Keprihatinan Dr. J. Leimena atas  kurangnya  kepedulian  sosial  umat Kristen terhadap nasib bangsa merupakan hal utama yang mendorong niatnya untuk aktif pada "Gerakan Oikumene". Pada tahun 1926, Leimena ditugaskan untuk mempersiapkan Konferensi Pemuda Kristen di  Bandung. Konferensi ini adalah perwujudan pertama Organisasi Oikumene di kalangan pemuda Kristen. Dengan keaktifannya di Jong Ambon, ia ikut mempersiapkan Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 yang menghasilkan SUMPAH PEMUDA. Perhatian Leimena pada pergerakan nasional kebangsaan semakin berkembang sejak saat itu.

Setelah menempuh pendidikan kedokterannya di STOVIA Surabaya tahun 1930, Leimena  melanjutkan pendidikan di Geneeskunde Hogeschool (GHS - Sekolah Tinggi Kedokteran) di Jakarta yang diselesaikannya pada tahun 1939.

Pada tahun 1930, Leimena mulai bekerja sebagai dokter. Pertama kali diangkat sebagai dokter pemerintah di "CBZ Batavia" yang kini Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Di RSCM ia tidak lama bertugas dimana ia dipindahtugaskan ke Karesidenan Kedu pada saat Gunung Merapi  meletus. Pada tahun 1931 Leimena dipindahkan ke Rumah Sakit Zending Immanuel Bandung yang dijalaninya sampai tahun 1941.

Selain sebagai seorang dokter, Leimena selalu mengikuti perkembangan CSV yang didirikannya saat ia duduk di tahun ke 4 di bangku kuliah. CSV merupakan cikal bakal berdirinya GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) tahun 1950.

Pada tahun 1945, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) terbentuk dan pada tahun 1950 ia terpilih sebagai ketua umum dan memegang jabatan ini hingga tahun 1957. Selain di Parkindo, Leimena juga berperan dalam pembentukan DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia, kini PGI), juga pada tahun 1950. Di lembaga ini Leimena terpilih sebagai wakil ketua yang membidangi komisi gereja dan negara.

Ketika Orde Baru berkuasa, Leimena mengundurkan diri dari tugasnya sebagai menteri, namun ia masih dipercaya Presiden Soeharto sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) hingga tahun 1973. Usai aktif di DPA, ia kembali melibatkan diri di lembaga-lembaga Kristen yang pernah ikut dibesarkannya seperti Parkindo, DGI, UKI, STT dan lain-lain. Ketika Parkindo berfusi dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia, kini PDI-P), Leimena diangkat menjadi anggota DEPERPU (Dewan Pertimbangan Pusat) PDI dan pernah pula menjabat Direktur Rumah Sakit DGI Cikini.

Leimena tercatat masuk dalam 18 kabinet yang berbeda, sejak Kabinet Sjahrir II pada tahun 1946 sampai Kabinet Dwikora II pada tahun 1966, baik sebagai Menteri Kesehatan, Wakil Perdana Menteri maupun Wakil Menteri Pertama. Selain itu Leimena juga menyandang pangkat militer yakni Laksamana Madya Tituler di TNI Angkatan Laut.



Jabatan yang pernah diemban seorang Dr.J.Leimena adalah :


  1. Menteri Muda Kesehatan pada Kabinet Sjahrir II ( 12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946)
  2. Wakil  Menteri Kesehatan pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
  3. Menteri  Kesehatan pada Kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947 - 11 November 1947)
  4. Menteri  Kesehatan pada Kabinet Amir Sjarifuddin II (11 November 1947-2 Januari 1948)
  5. Menteri  Kesehatan pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)
  6. Menteri Negara pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 - 20 Desember 1949)
  7. Menteri Kesehatan pada Kabinet Republik Indonesia Serikat/RIS (20 Des 1949 - 6 Sept 1950)
  8. Menteri Kesehatan pada Kabinet Natsir (6 September 1950 - 20 Maret 1951)
  9. Menteri Kesehatan pada Kabinet Sukiman-Suwirjo (27 April 1951 - 3 April 1952)
  10. Menteri Kesehatan pada Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 30 Juli 1953)
  11. Menteri Kesehatan pada Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 - 24 Maret 1956)
  12. Menteri Sosial pada Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 10 Juli 1959)
  13. Menteri Distribusi pada Kabinet Kerja I (10 Juli 1959 - 18 Februari 1960)
  14. Wakil Menteri Utama merangkap Menteri Distribusi pada Kabinet Kerja II (18 Februari 1960 - 6 Maret 1962)
  15. Wakil Menteri Pertama I pada Kabinet Kerja III (6 Maret 1962 - 13 Desember 1963)
  16. Wakil Perdana Menteri II pada Kabinet Kerja IV (13 November 1963 - 27 Agustus 1964)
  17. Menteri Koordinator pada Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964 - 22 Februari 1966)
  18. Wakil Perdana Menteri II merangkap Menteri Koordinator, dan Menteri Perguruan Tinggi & Ilmu Pengetahuan pada Kabinet Dwikora II (24 Februari 1966 - 28 Maret 1966)
  19. Wakil Perdana Menteri untuk urusan Umum pada Kabinet Dwikora III (27 Maret 1966 - 25 Juli 1966)






Pada tanggal 29 Maret 1977, Dr.J. Leimena meninggal dunia di Jakarta dan sebagai penghargaan kepada jasa-jasanya, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No 52 TK/2010 pada tahun 2010 memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Dr. J.Leimena.







Pada tanggal 9 Juni 2012 Presiden Republik Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan patung dan rumah pahlawan nasional Johanis Leimena di Ambon. Peresmian patung dan rumah pahlawan nasional itu semula dijadwalkan pada Jumat (8/6/2012) sebelum acara Pembukaan MTQ Nasional ke XXIV di Kota Ambon, namun karena kedatangan Presiden Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono terlambat akibat cuaca buruk, maka pelaksanaan peresmian pada Sabtu pagi (9/6/2012). Patung atau Monumen Pahlawan Nasional ini dibangun di pertigaan kawasan Poka, Kecamatan Teluk Dalam, sedangkan rumah di desa kelahirannya yakni Ema, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon.