Cari disini

Kamis, 05 Maret 2015

Marsda TNI Leo Wattimena, 'Sang Good' Pilot

 Leonardus Willem Johanes Wattimena
memiliki nama panggilan sehari-hari Bladsem,  kata “Bladsem” mengandung arti kilat/petir, sementara di kalangan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dikenal dengan nama yang singkat Leo Wattimena.
Putra daerah kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat 3 Juli 1927 itu lahir dan dibesarkan oleh keluarga Kristen Protestan yang taat.   Ayahnya bernama Hein Leonardus Wattimena berasal dari Ambon, Maluku sedangkan ibunya yang bernama Maria Lingkan Wattie berasal dari Kawengian, Manado Sulawesi Utara.  
Ayahnya yang bekerja sebagai Comisaris Residen Kantor di kota Pontianak tidak membuatnya jadi enak-enakan, melainkan untuk terpacu lebih kreatif dan berjuang dalam mengarunggi hidup.  Leo Wattimena merupakan anak keempat dari enam bersaudara masing-masing keluarganya tiga perempuan dan tiga laki-laki.
Sebelum meniti kariernya di AURI, diawali dengan menempuh  Hollands Inlandsche School (HIS) dan Algeme Middelbare School (AMS) pada tahun 1950 di Jakarta.    
Leo Wattimena memiliki berprinsip kuat, bahwa tidak mau tergantung pada orang lain, ulet, disiplin dan tahan banting untuk mencapai cita-citanya.  Prinsip yang kuat tersebut terbukti setelah ayahnya meninggal, memulai untuk membiayai sekolahnya pemuda dengan bekerja sebagai pelaut di Maskapai Perkapalan NISO, bahkan kalau ada waktu luang tidak malu-malu untuk mendorong gerobak.    Semua itu dilakukan karena harus mencari biaya sendiri agar tetap bisa sekolah.   
Karier di AURI dimulai  bersama calon-calon kadet penerbang yang dikirim untuk mengikuti pendidikan Sekolah Penerbang Taloa selama satu tahun di California Amerika Serikat pada tahun 1950.    Pendidikan penerbang tersebut diikuti 60 kader yang dikirim pemerintah Indonesia untuk mengikuti pendidikan penerbang Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TOLOA). 
Selama mengikuti pendidikan penerbang di Taloa Leo Wattimena menjadi lulusan terbaik dari 45 kadet yang menjadi penerbang, dan selebihnya menjadi navigator.  Menyandang lulusan terbaik merupakan suatu kebanggaan tersendiri dan mengandung arti bagi dirinya untuk selalu berbuat yang terbaik setiap menjalankan tugas. Dari hasil yang sangat membanggakan itu membuat dirinya mendapat kesempatan Bersama 18 temen-temennya, untuk melanjutkan pendidikan instruktur selama tujuh bulan di TALOA.
Sesampainya kembali di tanah air selanjutnya ditempatkan di Skadron 3 Lanud Halim Perdanakusuma sebagai penerbang pesawat tempur merangkap instruktur Pesawat P-51 Mustang.   Para penerbang-penerbang yang dikirim ke Taloa berkelakar kita bertugas dengan sungguh-sungguh, semoga dikemudian dapat berkarir dengan baik, itu terlihat dan berkarier menonjol itu terbukti salah satunya adalah Leo Wattimena.  
Penerbang Asing pun "Angkat Topi" dengan Leo Wattimena, bahkan selama menjadi penerbang telah menyandang segudang gelar yang melekat pada dirinya. Mulai dari "orang gila", pemberani, good pilot, penerbang yang cerdik, jenius, orang yang sangat memahami pesawat terbang, sampai julukan "G maniac" yang diberikan oleh penerbang-penerbang pesawat tempur India, karena sangat kagum kepada Leo Wattimena.
Setelah kembali ke tanah air Indonesia  tahun 1951, kemudian diangkat menjadi Letnan Muda Udara I  dan ditempatkan di Komando Operasi di Halim Perdanakusuma, selanjutnya ditempatkan di Skadron 3 hingga pada tahun 1952 naik pangkat menjadi Letnan Udara II.  
Setelah naik pangkat menjadi Letnan Udara I di tahun 1954, kemudian mendapatkan kesempatan kembali pergi ke Inggris untuk mengikuti Pendidikan Penerbang Pesawat Pancargas pada RAF Centre Flying School di Little Resington selama satu tahun.

Leo Wattimena mendampingi Presiden Sukarno dalam kunjungan ke Irian Barat
Tahun 1955 bertugas kembali ke India dalam rangka peninjauan kesatuan-kesatuan pesawat Jet Vampire dari Indian Air Force selama dua bulan.   Setelah pulang dari India dengan pangkat Acting Kapten Udara, kemudian ditempatkan sebagai Perwira Instruktur Penerbang di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.   Meniti karier berikutnya pada bulan Mei 1956 sebagai perwira penerbang Skadron 3 diperbantukan pada Komando Group Komposisi.  
Pada bulan Juni 1956 kembali mendapatkan kesempatan yang ketiga kalinya dikirim ke luar negeri dalam rangka menghadiri perayaan hari Angkatan Udara Republik Uni Sovyet (Rusia).
Leo Wattimena pada tanggal 18 April 1956, menetapkan untuk mengakhiri masa lajangnya dengan mempersunting seorang gadis Corrie Dingemans.   Dari pernihakannya dikaruniai empat anak, Clifford Joseph Wattimena, Gunther Leonardus Wattimena,  Patricia Maria Wattimena, dan Grace Riani Wattimena.
Dalam rangka mem­perkuat armada tempur yang dimiliki AURI pada tahun 1957, pemerintah Republik Indonesia mem­­utuskan untuk membeli delapan buah Jet Vampire buatan Inggris.  Kemudian AURI menugaskan Kapten Udara Leo Wattimena dan Kapten Udara Rusmin Nurjadin ditugaskan ke Inggris untuk belajar menjadi penerbang Pesawat Jet Vampire. Selama mengikuti pendidikan instruktur lanjutan di Royal Air Force, kembali menunjukkan kualitasnya sebagai penerbang andal terbukti lulus dengan predikat satu.  Pada masa itu mempersiapkan penerbang baru dengan generasi pesawat yang di pesan Indonesia, sebanyak delapan pesawat jet tempur de Havilland DH-115 Vampire dan itu merupakan pesawat jet pertama yang dimiliki AURI.  
Penempatan penerbang untuk pesawat jet tempur de Havilland DH-115 Vampire adalah penerbang Leo Wattimena dan Rusmin Nurjadin.  Selesai mengikuti latihan untuk mengawaki Pesawat Jet Vampire, keduanya kembali ke tanah air untuk mempersiapkan calon-calon penerbang Pesawat Jet Vampire, salah satunya Kapten Udara Sri Mulyono Herlambang.  
"Tak heran jika dengan Pesawat DH-115 Vampire sampai Mig-17 dan jet tempur bakatnya Leo Wattimena bisa mendapatkan multi ranting. Mulai dari L-4J Piper Club, P-51 Mustang, supersonik MiG-21 Fishbed" 
Bakat luar biasa yang ditunjukan saat menerbangkan DH-115 Vampire untuk pertama kalinya itu, menghantarkan Leo Wattimena untuk dipercaya memimpin armada Vampire Skadron 11 Lanud Kemayoran (1 Juni 1957).  Tercatat bahwa waktu itu Indonesia sudah memiliki 16 jet tempur buatan Inggris ini.  Predikat yang disandangnya  "sangat paham terhadap pesawat terbang" memang bukan omong kosong.
Keahlian tentang pesawat ditunjukkan ketika Sumarsono, penerbang MiG-21 Fishbed Skadron Udara 12 jatuh di Kemayoran. Keesokan harinya, bersama Rusmin segera turun tangan untuk menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat tersebut yang mengakibatkan penerbang Sumarsono gugur.   
Waktu itu, di saat untuk menerbangkan pesawat buatan Uni Soviet itu, baru sekali take off and landing, kemudian turun kembali Leo Wattimena langsung berkomentar : "Ini pesawat jelek". Meskipun begitu, tetap menerbangkan pesawat supersonik delta tersebut.  Sementara di masa kejayaannya, bahwa pesawat supersonik delta merupakan pesawat unggulan produksi Uni Soviet.

Sebagai Wakil Panglima Komando Mandala sedang memberikan briefing dalam rangka penyebaran pamflet
Di luar negeri Beruang Merah (UNI Soviet), hanya Indonesia yang punya hingga dan sanggup membuat negara tetangga Australia harus memutar otak karena kekuatan pesawat  yang dimiliki Indonesia.  Ditambah lagi AURI diperkuat dengan Pesawat Tupolev Tu-16 Badger (bomber).  Disaat itu pula, pesawat  Pesawat Tupolev Tu-16 Badger (bomber) menjadi unggulan Uni Soviet, bahkan Amerika pun ingin memilikinya.  
Karir sebagai Komandan Kesatuan Pancargas AURI, Pangkalan Udara Husein Sastranegara mulai bulan Februari 1957, dan Komandan Skadron 11 April 1957.      Pada akhir tahun 1957 bersama rombongan mendapat tugas baru dengan missi pembelian pesawat, berangkat ke Negara Rusia dan negara-negara Eropa Timur selama dua bulan.   Sesampainya di tanah air setelah melaksanakan  kunjungan tersebut dengan pangkat Mayor Udara mendapatkan tugas kembali belajar di Mesir selama tiga bulan untuk belajar mengenai penerbangan dan teknik.     
Oktober 1960 bertugas mengambil pesawat-pesawat AURI yang sedang menjalani overhaul di Hongkong Aircraft Engineering Corporation.    April 1961 bertugas ke Inggris untuk mengikuti RAF Staf College di Andover.
Dengan dibentuknya Komando Regional Udara (Korud) tahun 1961 akhirnya mendapat tugas baru sebagai Panglima Komando Regional Udara IV, tahun 1962 sebagai Wakil II Panglima Komando Mandala pembe­basan Irian Barat dengan pangkat Kolonel Udara. Agustus 1962 sebagai Panglima Angkatan Udara Mandala dengan pangkat Komodor Udara.  
Pada saat operasi Trikora, pernah mendapat tugas untuk mengirim gula dari Jakarta ke Makassar.  Selama berkarir sebagai prajurit AURI, tergolong orang yang selalui mengutamakan hak-hak prajurit yang bertugas di medan perang.  Ada peristiwa yang menarik, “pernah pada suatu saat makanan jatahnya  dibuang, karena melihat para prajurit yang akan diterjunkan ke Irian Barat dengan resiko tinggi, bahkan bisa dikatakan belum tentu juga kembali dengan selamat cuma diberi makan pakai lauk tempe, sedangkan para jenderal yang hanya bertugas dibelakang meja makan dengan lauk daging ayam”.
Leo Wattimena adalah Jenderal pertama yang mendarat di Irian Barat, dengan menggunakan Pesawat C-130 Hercules setelah melaksanakan tugas penyebaran pamflet di daerah Merauke.  Pesawat yang diterbangkan oleh Captain Pilot Letkol Udara M. Slamet dan Co Pilot Mayor Udara Hamsana didalamnya ada Komodor Udara Leo Wattimena.   Setelah tugas selesai timbul keinginan Komodor Udara Leo Wattimena mendarat di Lapangan Terbang Merauke.  Secara sigap Kaptain Pilot kemudian mengontak tower Merauke menyatakan bahwa pesawat mengalami kerusakan mesin (Engine trouble) dan minta ijin mendarat, dengan cara demikian, maka untuk pertama kalinya seorang Jenderal AURI  menginjakkan kakinya di Irian Barat. 

Penerbang legendaris AURI dengan latar belakang pesawat Mustang
Namun demikian setelah melaporkan ke Tower Merauke, pesawat mendarat di ujung landasan, kemudian langsung terbang lagi.  Saat itu pula tidak serta merta tentara Belanda marah karena merasa ditipu, situasi itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa AURI adalah yang nomor satu.

Prestasi Penerbang sangat menonjol dan menakjubkan
Terbang di Bawah Kolong Jembatan Ampera, kemahiran menerbangkan pesawat ditunjukkan Leo Wattimena dalam suatu kesempatan dengan Pesawat MiG-17,  terbang rendah di kolong jembatan Ampera Sungai Musi, Palembang.   Saat terbang tidak sendirian, tetapi bersama dengan wingman-nya, Marsda (Pur) Sudjatio Adi. Dibawanya pesawat seperti menukik mau menghujam dasar sungai Musi, lalu pull up sebelum mencapai permukaan air dan terbang menyambar dibawah Jembatan Ampera.  
"Terbang gila" dengan penuh resiko dan sangat berbahaya yang dilakukan. Terbang menyalip diantara tower dan tiang bendera di Lanud Adisutjipto, Yogyakarta.    Terbang straight and level, pasti menabrak, jadi untuk dapat lolos, ujung sayap yang satu ditarik Leo ke bawah.  Alhasil, pesawat dengan indahnya menyalip terbang diantara dua penghalang tersebut.
Menurut Marsekal Pertama (Pur) Agustinus Andy Andoko, mereka sejaman dengan penerbang ulung itu, bahwa "Leo itu identik dengan Mustang".  Bahkan karena unik dan keahliannya berangkat kerja dari  Bandung ke Jakarta, Leo Wattimena menggunakan Pesawat Mustang.  
Sebagai  penerbang fighter, Leo Wattimena kenyang asam garam perang udara, pernah memimpin serangan di Indonesia Timur melawan Permesta (14 Mei 1958) menggunakan Mustang serta empat pembom B-25 Mitchell. Sebagai Wakil II Panglima Komando Mandala merangkap Panglima AU Mandala pada masa Trikora.  Dalam operasi tempur perebutan Irian Barat tahun 1962, Leo menjadi Jenderal pertama yang menginjakkan kakinya di bumi Irian Barat.
Menurut rekan-rekannya dikenal orang sangat tekun dan serius dalam mengemban tanggung jawab. "Kalau perlu dia tidak tidur sampai tiga hari," kenang Kolonel (Pur) Suparno, mantan Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara yang pernah melayani Leo.  Sebagai penerbang ada yang mengatakan, dia sangat menyatu dengan udara. Kalau dia terbang, semua untuk dia. Leo terbang tidak lagi dengan raganya, tapi dengan jiwanya.
Setelah selesai menjabat sebagai Pangkodau IV pada bulan April 1965 kemudian diangkat sebagai Panglima Komando Operasi, sedangkan jabatan se­men­tara Wakil II Panglima Mandala tetap dijabat sampai bulan Mei 1963.   Tahun 1966 diangkat sebagai Panglima Kohanud merangkap sebagai anggota MPRS mewakili  AURI.   Tanggal 17 Juni 1966 pangkatnya dinaikkan menjadi Laksamana Muda Udara.  
Pada saat berlangsungnya Operasi Dwikora pernah menjabat sebagai kepala Staf Komando Mandala Siaga.
Setelah memasuki akhir pengabdiannya sebagai prajurit AURI, Laksamana Muda Udara Leo Wattimena mendapat kehormatan untuk menjadi Duta Besar berkuasa penuh untuk Italia. Dengan pengangkatan menjadi Duta Besar di Itali ini diartikan lain, karena tugas ini sama saja rasanya dibuang dan sakit hati, karena saat itu merasakan bahwa harus berpisah dengan Pesawat P-51 Mustang.    Perpisahan itu terasa separo jiwanya telah diambil, karena ia bercita-cita menjadi penerbang bukan Duta Besar.

Bersama Presiden Suharto setelah acara pelantikan Sebagai Dutabesar Republik Indonesia untuk Italia<
Setelah masa tugasnya sebagai Duta besar di Italia berakhir, Laksamana Muda Udara Leo wattimena menderita sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.  Pada waktu diirawat di rumah sakit tidak merasa nyaman dan tidak kerasan untuk diam dan tiduran terus, akhirnya ia melarikan diri  dengan naik Bajai, setelah sampai di rumah diantar kembali ke Rumah Sakit oleh keluarganya.  
Di Rumah sakit Cipto itulah Laksamana Muda Udara Leo Wattimena menghembuskan nafasnya yang terakhir dan berpulang ke rumah Tuhan, dalam usia 47 tahun dengan meninggalkan seorang istri dan 4 orang anak.  
Laksamana Muda Udara Leo Wattimena sebelum meninggal berpesan pada istrinya, “Kalau saya meninggal rawatlah anak-anak dengan baik”. Sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, jenasah disemayamkan di Markas Besar Angkatan Udara untuk memberi kesempatan kepada seluruh anggota AURI  memberikan penghormatan terakhir.
Selama berdinas di AURI mendapatkan Bintang/tanda jasa berupa medali Sewindu, Gerakan Operasi Militer III, IV, V, VI, VII, Bintang Sakti dan Satyalencana Wira Dharma. ** Pd.