Cari disini

Kamis, 05 Maret 2015

Mr. Latuharhary, Mengenang Tokoh Hukum dari Saparua




Orang Jakarta lebih mengenal kawasan sekitar Jalan Latuharhary sebagai lokasi mangkal kaum waria pada malam hari, dan tempat penjualan anak-anak anjing berkelas.

Memanjang dari ujung Jalan Kendal hingga ke ujung Jalan Sukabumi, di kawasan elit Menteng Jakarta Pusat, Jalan Latuharhary merupakan salah satu jalan yang banyak dilewati penikmat kehidupan malam. Maklum, kawasan Latuharhary dan sekitarnya yang dikenal sebagai Taman Lawang adalah tempat mejeng pria transeksual alias waria. Dari Jalan Blora menuju Latuharhary, penjaja seks komersial juga sering terlihat pada malam hari.

Sebelum dilakukan pembersihan untuk proyek Banjir Kanal Barat Sungai Ciliwung, kita juga bisa menemukan geliat kehidupan malam di pinggir rel kereta api jurusan Manggarai-Tanah Abang. Kalau siang hari, kita sering melihat penjual berbagai jenis anak anjing berkelas seperti dalmatians, rotweiller, dan siberian husky. Kehidupan malam di seputar Latuharhary bisa jadi tak terpisahkan dari sejarah prostitusi di kawasan Halimun. Halimun hanya berbatasan Kali Ciliwung dan Jalan Sultan Agung dengan Jalan Latuharhary. Pada dekade 1960-an, Halimun dikenal sebagai kawasan prostitusi terbesar di Jakarta.

Nama Latuharhary sebenarnya tidak hanya diabadikan untuk jalan. Dulu, pada masa Ali Sadikin menjadi Menko Maritim, kita memiliki kapal Johannes Latuharhary yang berhasil keliling dunia selama empat bulan. Kini, orang lebih mengenal nama Latuharhary sebagai nama jalan di Jakarta.

Jalan Latuharhary terletak tidak jauh dari rumah dinas Wakil Presiden. Di jalan ini berdiri kantor Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Sebelum pindah ke Latuharhary pada November 1996, kantor Komnas HAM terletak di Jalan Pemuda, Jakarta Timur.

Lalu, pernahkah Anda mencari tahu siapa Mr Latuharhary yang namanya diabadikan pada jalan tersebut? Seorang komisioner di salah satu Komisi tadi tanpa malu-malu mengaku tidak tahu jawabannya. Ia hanya bisa menebak. Dari gelarnya sih pasti orang hukum, jawab sang komisioner. Ia menunjuk papan nama jalan yang menyebut Latuharhary, SH.

Jawaban senada datang dari komisioner Komnas HAM, M. Ridha Saleh. Saya tidak terlalu begitu mendalam soal Latuharhary, ujarnya. Ridha Saleh hanya tahu bahwa Latuharhary adalah seorang tokoh bangsa pada masa perjuangan yang berperan dalam bidang hukum dan politik.

Lalu, siapakah sebenarnya Latuharhary? Apa kiprahnya di dunia hukum sehingga namanya diabadikan sebagai nama jalan? Pertanyaan itu memutar kembali memori Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) Prof. J.E. Sahetapy. Pada September 1995 silam, Prof. Sahetapy didaulat untuk memberikan memorial lecture untuk memperingati dua tokoh nasional asal Tanah Saparua, yakni dokter J. Leimena dan Mr. J. Latuharhary.

Dijelaskan Sahetapy, Latuharhary adalah satu dari sedikit tokoh asal Maluku yang bergelut di bidang hukum. Pada umumnya, tokoh asal Ambon mengambil bidang kedokteran atau sekolah pendeta. Hal berbeda ditunjukkan oleh Latuharhary. Sebagai orang berlatar belakang hukum, ia banyak terlibat dalam dalam penyusunan konsep dasar negara menjelang kemerdekaan. Bahkan seingat Sahetapy, Latuharhary termasuk tokoh penting yang mendatangi Hatta untuk menolak berlakunya piagam Jakarta. Latuharhary mengancam jika piagam Jakarta diberlakukan, Maluku dan wilayah Indonesia bagian Timur akan menarik diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lulusan Leiden
Nama lengkapnya Johannes Latuharhary. Lahir di Saparua 6 Juli 1900, Johannes Latuharhary adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Ia memperoleh gelar Mesteer in de Rechten pada usia 27 tahun. Pada masa itu memang cukup banyak mahasiswa asal Indonesia yang kuliah hukum di Belanda. Para alumnus Belanda ini punya peran penting menggalang semangat persatuan menjelang kemerdekaan.

Dokumen yang dikeluarkan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menunjukkan semula Latuharhary bersekolah di Jatinegara, Jakarta. Lalu, berlanjut ke ELS di Ambon. Pada tahun 1915 ia menjadi pengajar di Sekolah Rakyat di Saparua. Latuharhary kembali ke Batavia, meneruskan pendidikan di HBS Jakarta dan memperoleh diploma pada 1923.

Setahun setelah lulus dari Leiden, Latuharhary bekerja di dunia peradilan di Surabaya, pernah tercatat sebagai Ketua Pengadilan di Kraksaan. Lalu, membuka kantor advokat di Surabaya. Ketika Jepang masuk, Latuharhary menjadi pegawai Naimubu Jakarta dengan gaji yang cukup tinggi untuk ukuran kala itu: f400,20 per bulan. Wah, gajinya sangat tinggi kala itu, puji Sahetapy.

Diakui Sahetapy, tidak banyak butir-butir pemikiran Latuharhary bidang hukum yang diwariskan kepada kita. Pemikiran keilmuannya kurang kita ketahui. Yang terkenal pemikiran-pemikiran kebangsaannya, jelas Sahetapy.

Latuharhary menikah dengan Henriette Carolina Pattiradjawane. Dari perkawinannya dengan putri Raja Kariu, Jacob Pattiradjawane, itu Latuharhary dikaruniai tiga orang anak, yaitu Henriette Latuharhary (1932), Louise Latuharhary (1936), dan Leonara Latuharhary (1940).

Representasi Maluku dan Pemikiran
Nama Latuharhary mencuat pada masa awal kemerdekaan bersamaan dengan upaya tokoh-tokoh nasional membuat suatu perkumpulan yang representatif. Latuharhary dianggap mewakili Maluku, meskipun selama perjuangan ia banyak berkiprah dari Subaraya.

Pada 1928, Latuharhary menjabat sebagai Ketua Serikat Ambon. Di Surabaya, ia menjabat sebagai Sekretaris Permufakatan Perkumpulan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Periode 1932-1942 ia menjadi anggota Dewan Provinsi Jawa Timur. Sejak 1940, Latuharhary menjadi pengurus Partai Indonesia Raya (Parindra) di Malang.

Ketika dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dari 30 anggota, nama Mr Johannes Latuharhary menempati urutan ke 14, dan dianggap mewakili Maluku. Di Panitia ini Latuharhary duduk bersama antara lain Soekarno, M. Hatta, Otto Iskandardinata, Mr Soepomo, Ki Hadjar Dewantara, Kasman Singodimejo, dan Mr. Iwa Kusuma Soemantri.

Latuharhary adalah anggota BPUPKI yang menolak masuknya anasir religiositas ke dalam UUD 1945. Pada rapat BPUPKI pada 11 Juli 1945, Latuharhary menolak penggunaan kata Ketuhanan dimasukkan ke dalam Pembukaan UUD 1945. Saya tidak setuju dengan semuanya, yaitu dengan perkataan tentang ke-Tuhanan, kata Latuharhary sebagaimana diungkap dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretariat Negara (1995).

Anggota BPUPKI, Sartono mencoba menengahi dengan mengatakan bahwa soal detil kalimat akan dibicarakan kemudian. Soekarno mempertanyakan apakah Latuharhary sudah memikirkan kemungkinan penolakan dari anggota BPUPKI yang lain terhadap pandangan Latuharhary. Latuharhary menegaskan bahwa dalam menyusun hukum dasar tidak boleh ada benih-benih yang dapat diartikan bermacam-macam, dan menimbulkan perasaan tidak senang pada kelompok lain.

Ketika dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) periode Agustus-Oktober 1945, Latuharhary terpilih sebagai Wakil Ketua III. Ketua Komite ini adalah Mr Kasman Singodimedjo. Belakangan, posisi Latuharhary di Badan Pekerja KNIP mewakili Maluku digantikan oleh P de Quelju.

Sejarah mencatat bahwa selama duduk di BPUPKI dan PPKI, Latuharhary telah mengajukan sejumlah usul penting. Pada rapat PPKI pada 19 Agustus 1945, Latuharhary menolak istilah mangkubumen yang diusulkan Soekarno sebagai sebutan pemerintahan daerah. Selain istilah itu dianggap berbau Jawa, istilah yang lazim dipakai adalah gubernemen atau provinsi. Istilah yang dipakai kemudian adalah provinsi.

Pada sesi lain rapat PPKI, Latuharhary juga menyatakan penolakannya terhadap pembentukan Kementerian yang khusus mengurusi agama, yakni Departemen Agama. Persoalan ini dinilai Latuharhary sensitif dan bisa menciderai semangat kebangsaan yang tengah dibangun. Saya yakin bahwa jika mengadakan suatu Kementerian Agama, nanti bisa ada perasaan-perasaan yang tersinggung atau yang tidak senang, kata Latuharhary pada rapat PPKI Minggu siang di Gedung Tyuuoo Sangi-in (sekarang Departemen Luar Negeri).

Ketika Hatta mengusulkan pembentuka 15 Departemen, Latuharhary mendukung pemisahan Departemen Makanan Rakyat dan Departemen Perekonomian Umum. Bagi Latuharhary, urusan Makanan Rakyat tidak bisa dianggap sepele.

Diplomasi internasional
Setelah merdeka, Latuharhary banyak terlibat di pemerintahan, termasuk diplomasi internasional. Pada masa Kabinet Hatta 1948, Latuharhary menjadi salah seorang utusan Indonesia menghadiri Sidang Umum PBB di Lace Succes. Ketua rombongan dipimpin oleh Mr Mohammad Roem, beranggotakan Ali Sastroamidjojo, Tjoa Sek Ien, M. Nasroen, Soepomo dan Soenarjo Kolopaking.

Aktivitasnya di dunia diplomasi juga ditunjukkan ketika Indonesia � Belanda berunding difasilitasi Dewan Keamanan PBB atas tertundanya pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB). Latuharhary ikut sebagai anggota rombongan.

Dokumen sejarah lain mencatat bahwa Mr Latuharhary adalah Gubernur Maluku yang pertama. Pemerintah memberikan penghargaan Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan dan mengangkat Latuharhary sebagai pahlawanan nasional. Sahetapy dan M. Ridha Saleh menilai sudah selayaknya nama Latuharhary ditabalkan sebagai bana jalan mengingat kiprahnya dalam perjuangan kemerdekaan.

Sumber : http://www.hukumonline.com