Orang Jakarta
lebih mengenal kawasan sekitar Jalan Latuharhary sebagai lokasi mangkal
kaum waria pada malam hari, dan tempat penjualan anak-anak anjing
berkelas.
Memanjang
dari ujung Jalan Kendal hingga ke ujung Jalan Sukabumi, di kawasan elit
Menteng Jakarta Pusat, Jalan Latuharhary merupakan salah satu jalan
yang banyak dilewati penikmat kehidupan malam. Maklum, kawasan
Latuharhary dan sekitarnya yang dikenal sebagai Taman Lawang adalah
tempat mejeng pria transeksual alias waria. Dari Jalan Blora menuju
Latuharhary, penjaja seks komersial juga sering terlihat pada malam
hari.
Sebelum
dilakukan pembersihan untuk proyek Banjir Kanal Barat Sungai Ciliwung,
kita juga bisa menemukan geliat kehidupan malam di pinggir rel kereta
api jurusan Manggarai-Tanah Abang. Kalau siang hari, kita sering melihat
penjual berbagai jenis anak anjing berkelas seperti dalmatians, rotweiller, dan siberian husky.
Kehidupan malam di seputar Latuharhary bisa jadi tak terpisahkan dari
sejarah prostitusi di kawasan Halimun. Halimun hanya berbatasan Kali
Ciliwung dan Jalan Sultan Agung dengan Jalan Latuharhary. Pada dekade
1960-an, Halimun dikenal sebagai kawasan prostitusi terbesar di Jakarta.
Nama
Latuharhary sebenarnya tidak hanya diabadikan untuk jalan. Dulu, pada
masa Ali Sadikin menjadi Menko Maritim, kita memiliki kapal Johannes
Latuharhary yang berhasil keliling dunia selama empat bulan. Kini, orang
lebih mengenal nama Latuharhary sebagai nama jalan di Jakarta.
Jalan
Latuharhary terletak tidak jauh dari rumah dinas Wakil Presiden. Di
jalan ini berdiri kantor Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Sebelum pindah
ke Latuharhary pada November 1996, kantor Komnas HAM terletak di Jalan
Pemuda, Jakarta Timur.
Lalu,
pernahkah Anda mencari tahu siapa Mr Latuharhary yang namanya
diabadikan pada jalan tersebut? Seorang komisioner di salah satu Komisi
tadi tanpa malu-malu mengaku tidak tahu jawabannya. Ia hanya bisa
menebak. Dari gelarnya sih pasti orang hukum, jawab sang komisioner. Ia menunjuk papan nama jalan yang menyebut Latuharhary, SH.
Jawaban
senada datang dari komisioner Komnas HAM, M. Ridha Saleh. Saya tidak
terlalu begitu mendalam soal Latuharhary, ujarnya. Ridha Saleh hanya
tahu bahwa Latuharhary adalah seorang tokoh bangsa pada masa perjuangan
yang berperan dalam bidang hukum dan politik.
Lalu,
siapakah sebenarnya Latuharhary? Apa kiprahnya di dunia hukum sehingga
namanya diabadikan sebagai nama jalan? Pertanyaan itu memutar kembali
memori Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) Prof. J.E. Sahetapy. Pada
September 1995 silam, Prof. Sahetapy didaulat untuk memberikan memorial lecture untuk memperingati dua tokoh nasional asal Tanah Saparua, yakni dokter J. Leimena dan Mr. J. Latuharhary.
Dijelaskan
Sahetapy, Latuharhary adalah satu dari sedikit tokoh asal Maluku yang
bergelut di bidang hukum. Pada umumnya, tokoh asal Ambon
mengambil bidang kedokteran atau sekolah pendeta. Hal berbeda
ditunjukkan oleh Latuharhary. Sebagai orang berlatar belakang hukum, ia
banyak terlibat dalam dalam penyusunan konsep dasar negara menjelang
kemerdekaan. Bahkan seingat Sahetapy, Latuharhary termasuk tokoh penting
yang mendatangi Hatta untuk menolak berlakunya piagam Jakarta. Latuharhary mengancam jika piagam Jakarta diberlakukan, Maluku dan wilayah Indonesia bagian Timur akan menarik diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lulusan Leiden
Nama
lengkapnya Johannes Latuharhary. Lahir di Saparua 6 Juli 1900, Johannes
Latuharhary adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda.
Ia memperoleh gelar Mesteer in de Rechten pada usia 27 tahun. Pada masa itu memang cukup banyak mahasiswa asal Indonesia yang kuliah hukum di Belanda. Para alumnus Belanda ini punya peran penting menggalang semangat persatuan menjelang kemerdekaan.
Dokumen yang dikeluarkan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menunjukkan semula Latuharhary bersekolah di Jatinegara, Jakarta. Lalu, berlanjut ke ELS di Ambon. Pada tahun 1915 ia menjadi pengajar di Sekolah Rakyat di Saparua. Latuharhary kembali ke Batavia, meneruskan pendidikan di HBS Jakarta dan memperoleh diploma pada 1923.
Setahun setelah lulus dari Leiden, Latuharhary bekerja di dunia peradilan di Surabaya, pernah tercatat sebagai Ketua Pengadilan di Kraksaan. Lalu, membuka kantor advokat di Surabaya. Ketika Jepang masuk, Latuharhary menjadi pegawai Naimubu
Jakarta dengan gaji yang cukup tinggi untuk ukuran kala itu: f400,20
per bulan. Wah, gajinya sangat tinggi kala itu, puji Sahetapy.
Diakui
Sahetapy, tidak banyak butir-butir pemikiran Latuharhary bidang hukum
yang diwariskan kepada kita. Pemikiran keilmuannya kurang kita ketahui.
Yang terkenal pemikiran-pemikiran kebangsaannya, jelas Sahetapy.
Latuharhary
menikah dengan Henriette Carolina Pattiradjawane. Dari perkawinannya
dengan putri Raja Kariu, Jacob Pattiradjawane, itu Latuharhary
dikaruniai tiga orang anak, yaitu Henriette Latuharhary (1932), Louise
Latuharhary (1936), dan Leonara Latuharhary (1940).
Representasi Maluku dan Pemikiran
Nama
Latuharhary mencuat pada masa awal kemerdekaan bersamaan dengan upaya
tokoh-tokoh nasional membuat suatu perkumpulan yang representatif.
Latuharhary dianggap mewakili Maluku, meskipun selama perjuangan ia
banyak berkiprah dari Subaraya.
Pada 1928, Latuharhary menjabat sebagai Ketua Serikat Ambon. Di Surabaya, ia
menjabat sebagai Sekretaris Permufakatan Perkumpulan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI). Periode 1932-1942 ia menjadi anggota Dewan Provinsi
Jawa Timur. Sejak 1940, Latuharhary menjadi pengurus Partai Indonesia
Raya (Parindra) di Malang.
Ketika
dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dari 30
anggota, nama Mr Johannes Latuharhary menempati urutan ke 14, dan
dianggap mewakili Maluku. Di Panitia ini Latuharhary duduk bersama
antara lain Soekarno, M. Hatta, Otto Iskandardinata, Mr Soepomo, Ki
Hadjar Dewantara, Kasman Singodimejo, dan Mr. Iwa Kusuma Soemantri.
Latuharhary
adalah anggota BPUPKI yang menolak masuknya anasir religiositas ke
dalam UUD 1945. Pada rapat BPUPKI pada 11 Juli 1945, Latuharhary menolak
penggunaan kata Ketuhanan dimasukkan ke dalam Pembukaan UUD 1945. Saya
tidak setuju dengan semuanya, yaitu dengan perkataan tentang ke-Tuhanan,
kata Latuharhary sebagaimana diungkap dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretariat Negara (1995).
Anggota
BPUPKI, Sartono mencoba menengahi dengan mengatakan bahwa soal detil
kalimat akan dibicarakan kemudian. Soekarno mempertanyakan apakah
Latuharhary sudah memikirkan kemungkinan penolakan dari anggota BPUPKI
yang lain terhadap pandangan Latuharhary. Latuharhary menegaskan bahwa
dalam menyusun hukum dasar tidak boleh ada benih-benih yang dapat
diartikan bermacam-macam, dan menimbulkan perasaan tidak senang pada
kelompok lain.
Ketika
dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) periode Agustus-Oktober
1945, Latuharhary terpilih sebagai Wakil Ketua III. Ketua Komite ini
adalah Mr Kasman Singodimedjo. Belakangan, posisi Latuharhary di Badan
Pekerja KNIP mewakili Maluku digantikan oleh P de Quelju.
Sejarah
mencatat bahwa selama duduk di BPUPKI dan PPKI, Latuharhary telah
mengajukan sejumlah usul penting. Pada rapat PPKI pada 19 Agustus 1945,
Latuharhary menolak istilah mangkubumen
yang diusulkan Soekarno sebagai sebutan pemerintahan daerah. Selain
istilah itu dianggap berbau Jawa, istilah yang lazim dipakai adalah gubernemen atau provinsi. Istilah yang dipakai kemudian adalah provinsi.
Pada
sesi lain rapat PPKI, Latuharhary juga menyatakan penolakannya terhadap
pembentukan Kementerian yang khusus mengurusi agama, yakni Departemen
Agama. Persoalan ini dinilai Latuharhary sensitif dan bisa menciderai
semangat kebangsaan yang tengah dibangun. Saya yakin bahwa jika
mengadakan suatu Kementerian Agama, nanti bisa ada perasaan-perasaan
yang tersinggung atau yang tidak senang, kata Latuharhary pada rapat
PPKI Minggu siang di Gedung Tyuuoo Sangi-in (sekarang Departemen Luar
Negeri).
Ketika
Hatta mengusulkan pembentuka 15 Departemen, Latuharhary mendukung
pemisahan Departemen Makanan Rakyat dan Departemen Perekonomian Umum.
Bagi Latuharhary, urusan Makanan Rakyat tidak bisa dianggap sepele.
Diplomasi internasional
Setelah
merdeka, Latuharhary banyak terlibat di pemerintahan, termasuk
diplomasi internasional. Pada masa Kabinet Hatta 1948, Latuharhary
menjadi salah seorang utusan Indonesia
menghadiri Sidang Umum PBB di Lace Succes. Ketua rombongan dipimpin
oleh Mr Mohammad Roem, beranggotakan Ali Sastroamidjojo, Tjoa Sek Ien,
M. Nasroen, Soepomo dan Soenarjo Kolopaking.
Aktivitasnya di dunia diplomasi juga ditunjukkan ketika Indonesia
� Belanda berunding difasilitasi Dewan Keamanan PBB atas tertundanya
pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB). Latuharhary ikut sebagai
anggota rombongan.
Dokumen
sejarah lain mencatat bahwa Mr Latuharhary adalah Gubernur Maluku yang
pertama. Pemerintah memberikan penghargaan Satyalencana Peringatan
Perjuangan Kemerdekaan dan mengangkat Latuharhary sebagai pahlawanan
nasional. Sahetapy dan M. Ridha Saleh menilai sudah selayaknya nama
Latuharhary ditabalkan sebagai bana jalan mengingat kiprahnya dalam
perjuangan kemerdekaan.
Sumber : http://www.hukumonline.com